Monday, October 1, 2007

MENGENANG KEMBALI GEDUNG SINGER

Jika anda lahir dan besar di Bandung; saat ini berusia sekitar 65 tahunan; semasa muda adalah orang yang "senang bergaul"; memiliki rasa cinta dan keperdulian terhadap perkembangan Bandung, anda pasti masih ingat tentang Gedung Singer dan peristiwa naas yang menimpanya.

Mendengar kata Singer, mungkin anda akan langsung teringat pada mesin jahit yang bisa jadi hingga saat ini masih dimiliki ibu, nenek, tante atau kerabat anda lainnya. Singer memang merupakan merk mesin jahit yang asalnya dari negeri Belanda. Kabarnya, pada masa penjajahan dulu, mesin jahit ini banyak diimpor oleh nyonya-nyonya Belanda. Selama suaminya bekerja di perkebunan, mereka hanya menganggur. Daripada ngerumpi dan bergosip, mereka mulai menyibukkan diri dengan menjahit.

Mesin jahit, seperti banyak mesin lainnya, lambat laun pasti mengalami kerusakan juga. Nah, ketika hal ini terjadi, para nyonya Belanda itu pusing memikirkan kemana mereka harus mereparasi mesin tersebut. Akhirnya pada tahun 1930, dibangunlah sebuah gedung berlanggam Art Deco karya F. W Brinkman di Jalan Asia Afrika, dekat Simpang Lima. Gedung yang terkenal dengan sebutan Gedung Singer tersebut merupakan tempat reparasi mesin jahit merk Singer yang pertama dan satu-satunya di Indonesia. Bandung, mendapat kehormatan untuk memiliki gedung tersebut.

Keunikan gedung ini terletak pada langgamnya yang merupakan perpaduan budaya Jawa Barat dengan budaya modern Eropa. Dalam sejarah percaturan budaya dunia, Gedung Singer ini telah disajikan sebagai contoh gaya bangunan Art Deco yang unik dan penting dalam perkembangan arsitektur modern Indonesia dalam "Kongres Art Deco Dunia I" di Miami AS tahun 1991. Tak heran bila kemudian gedung ini menjadi elemen yang menjadi ciri khas Simpang Lima. Lebih dari itu, bagi orang Bandung lama, yang memenuhi kriteria yang telah disebutkan diatas, pada saat mereka dalam perjalanan dari arah timur menuju Bandung dan melihat gedung ini, mereka akan tersenyum lalu berkata dalam hati, "saya pulang." Gedung Singer menjadi simbol yang memiliki nilai nostalgia tersendiri.

Biasanya, sesuatu yang pertama selalu dirawat baik-baik karena kenangan yang tersimpan di dalamnya sulit diukur dengan waktu. Tetapi tidak demikian halnya dengan Gedung Singer. Karena kepentingan ekonomi, karena kepentingan pribadi dan karena hukum yang mandul, pada tahun 1992, gedung ini dirobohkan. Pupus sudah harapan untuk memamerkan milik kita itu pada anak cucu dan banyak orang lain yang berkepentingan untuk mengenang, melihat maupun mempelajarinya.

Kasus Singer dimulai ketika pihak Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera 1912 (AJB Bumi Putera 1912) berniat untuk mendirikan Bandung Business Centre (BBC) di samping gedung Singer. Arsitek mereka, Atelier 6 dari Jakarta merancang bangunan raksasa baru itu dengan gaya yang disesuaikan dengan gaya Singer. Mereka menyadari bahwa Singer merupakan benda cagar budaya yang dilindungi dan dilestarikan. Sayangnya, pihak AJB Bumi Putera 1912 menginginkan agar Singer dibongkar untuk dijadikan areal parkir dan taman.

Dalam surat yang diajukan oleh Direktur Utama AJB Bumi Putera 1912, Drs. H. Sugiarto kepada Kepala Dinas Tata Kota Bandung, mereka menyatakan bahwa dari segi arsitektur, bangunan Singer tepat berada di "mulut" Jalan Asia Afrika dan tidak mempunyai Garis Sempadan Bangunan. Selain itu, Singer hanya memiliki tampak 2 muka, timur dan selatan sehingga "berkesan" kurang menarik, padahal gedung ini telah menjadi satu areal dengan Gedung BBC yang gayanya cukup modern. Dipandang dari aspek tata ruang kota, BBC diharapkan dapat memberikan daya tarik tersendiri bagi wajah kota terutama daerah Simpang Lima namun hal ini terganggu oleh keberadaan bangunan Singer. Bila dipandang dari arah Simpang Lima, bangunan tersebut menjadi penghalang pandangan ke arah BBC. Sedangkan bila dipandang dari jalan Asia Afrika (depan Tamara Bank) ke arah Simpang Lima, daya tarik gedung BBC sedikit terganggu dengan adanya tembok masif bangunan Singer.
“Pada saat mendengar hal ini, saya langsung berfikir, wah, ini pasti bohong. Bagaimana mungkin Singer yang kecil bisa menghalangi bangunan BBC yang demikian tinggi dan besar," tutur Frances B. Affandy, Direktur Eksekutif Bandung Heritage. Meskipun, tambahnya, Singer memang didirikan pada tempat yang tepat sehingga bangunan tersebut tampak menonjol. Sebagai LSM yang salah satu tujuannya adalah melindungi dan melestarikan bangunan kuno beserta lingkungannya, Bandung Heritage menemui pihak AJB Bumi Putera 1912. Mereka menjelaskan nilai penting Singer dan memberikan beberapa saran mengenai desain Singer agar sesuai dengan konsep BBC.

Saran yang disampaikan tersebut merupakan hasil diskusi tim Bandung Heritage yang terdiri dari Dibyo Hartono, Harastoeti Dibyo Hartono dan Ray Panggabean dengan Atelier 6. Mereka mengusulkan agar sebagian lantai dasar Singer difungsikan sebagai taman terbuka sehingga serasi dengan bangunan baru BBC sedangkan lantai atas dapat dimanfaatkan sebagai tempat operasi fungsi-fungsi pendukung BBC misalnya coffee shop, money changer dan souvenir shop. Sebagai suatu landmark sejarah, hal ini akan mendukung kegiatan pariwisata dan dari segi ekonomi sangat menguntungkan. Agar lebih serasi lagi dengan bangunan BBC,tampak bagian barat Singer akan disempurnakan dan secara keseluruhan, penampilan Singer dapat disempurnakan dengan bahan dan warna yang lebih serasi.


Meskipun secara teknis Singer dapat diusahakan agar tampil lebih serasi dengan BBC, pihak AJB Bumi Putera 1912 tetap menginginkan pembongkaran Singer. Alasan mereka diperkuat insiden yang terjadi pada tanggal 21 November 1992 pukul 12.00 WIB. Pada hari itu, atap bangunan Singer roboh, menimpa dua orang yang sedang berteduh sehingga mengalami luka-luka ringan. Agar tidak memakan korban lagi, mengingat Singer sering dilalui banyak orang, maka pihak AJB Bumi Putera 1912 meminta agar pihak Pemda mengeluarkan ijin pembongkaran Singer.

Menyadari bahwa kasus ini tidak akan selesai dengan jalan musyawarah, maka Bandung Heritage membawa kasus ini ke DPRD Tingkat II. Dua kali Bandung Heritage duduk bersama Komisi D dan dalam kedua pertemuan itu, Komisi D yang diketuai Toto Sutahto, BBA., setuju untuk tidak melepaskan Singer. Selain dari Komisi D, dukungan juga datang dari Emil Salim selaku Menteri Negara dan Lingkungan Hidup dalam surat bertanggal 15 September 1992 yang ditujukan kepada Gubernur Daerah Tingkat I Jawa Barat. Dukungan pers yaitu Pikiran Rakyat pada waktu itu sangat besar demikian juga dengan para ilmuwan dan masyarakat. Selama kasus itu berlangsung, Bandung Heritage juga terus mengumpulkan dukungan dari berbagai pihak. Dari segi dukungan, Singer tidak kekurangan.

Sayangnya, bukan itu yang menjadi masalah. Sumber utama masalah sebenarnya terletak pada kekuasaan mutlak yang dimiliki walikota. Pada waktu itu; akibat sistem pemerintahan diktator yang dianut pemerintah masa Orde Baru, kekuasaan walikota sangat besar. Keputusannya, meminjam istilah dalam Bahasa Jawa, bagaikan sabda pandhita ratu yang tidak bisa dibantah siapapun. Itulah yang terjadi pada Singer. Walikotamadya Bandung, yang berkuasa saat itu telah memberikan ijin pembongkaran pada pihak AJB Bumi Putera 1912 dan semua usaha untuk mempertahankan Singer tidak ada artinya lagi. Bandung tetap kehilangan Singer. Tak heran jika pada saat ditanya bagaimana latar belakang pembongkaran Singer, Frances hanya mengangkat bahu.

Ironis. Singer hilang pada saat ada begitu banyak dukungan untuk mempertahankan keberadaannya, pada saat kesadaran masyarakat akan nilai penting pelestarian bangunan bersejarah mulai tumbuh. Dan hukum, yang seharusnya bisa menjadi alat yang ampuh untuk memecahkan masalah, ternyata mandul. Undang-undang no. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya sudah disahkan pada 21 Maret 1992 namun tetap tidak berfungsi.
Hingga saat ini, ternyata kekuasaan walikota masih sangat besar. Menurut Adityawarman dari Dinas Tata Kota Bandung, apapun dapat dilakukan terhadap bangunan kuno bersejarah yang dilindungi jika walikota mengijinkan. Jadi, apakah kasus Babakan Siliwangi, Puncrut, atau bangunan kuno bersejarah lainnya akan berakhir seperti Singer?
Singer adalah satu contoh pengalaman pahit tapi dari situ, kita dapat berkaca kembali. Masih ada kesempatan untuk belajar dari pengalaman yang lalu untuk kemudian bertindak, mempertahankan milik kita yang tersisa. Kalau kita mau.(**)