Monday, October 1, 2007

MENGENANG KEMBALI GEDUNG SINGER

Jika anda lahir dan besar di Bandung; saat ini berusia sekitar 65 tahunan; semasa muda adalah orang yang "senang bergaul"; memiliki rasa cinta dan keperdulian terhadap perkembangan Bandung, anda pasti masih ingat tentang Gedung Singer dan peristiwa naas yang menimpanya.

Mendengar kata Singer, mungkin anda akan langsung teringat pada mesin jahit yang bisa jadi hingga saat ini masih dimiliki ibu, nenek, tante atau kerabat anda lainnya. Singer memang merupakan merk mesin jahit yang asalnya dari negeri Belanda. Kabarnya, pada masa penjajahan dulu, mesin jahit ini banyak diimpor oleh nyonya-nyonya Belanda. Selama suaminya bekerja di perkebunan, mereka hanya menganggur. Daripada ngerumpi dan bergosip, mereka mulai menyibukkan diri dengan menjahit.

Mesin jahit, seperti banyak mesin lainnya, lambat laun pasti mengalami kerusakan juga. Nah, ketika hal ini terjadi, para nyonya Belanda itu pusing memikirkan kemana mereka harus mereparasi mesin tersebut. Akhirnya pada tahun 1930, dibangunlah sebuah gedung berlanggam Art Deco karya F. W Brinkman di Jalan Asia Afrika, dekat Simpang Lima. Gedung yang terkenal dengan sebutan Gedung Singer tersebut merupakan tempat reparasi mesin jahit merk Singer yang pertama dan satu-satunya di Indonesia. Bandung, mendapat kehormatan untuk memiliki gedung tersebut.

Keunikan gedung ini terletak pada langgamnya yang merupakan perpaduan budaya Jawa Barat dengan budaya modern Eropa. Dalam sejarah percaturan budaya dunia, Gedung Singer ini telah disajikan sebagai contoh gaya bangunan Art Deco yang unik dan penting dalam perkembangan arsitektur modern Indonesia dalam "Kongres Art Deco Dunia I" di Miami AS tahun 1991. Tak heran bila kemudian gedung ini menjadi elemen yang menjadi ciri khas Simpang Lima. Lebih dari itu, bagi orang Bandung lama, yang memenuhi kriteria yang telah disebutkan diatas, pada saat mereka dalam perjalanan dari arah timur menuju Bandung dan melihat gedung ini, mereka akan tersenyum lalu berkata dalam hati, "saya pulang." Gedung Singer menjadi simbol yang memiliki nilai nostalgia tersendiri.

Biasanya, sesuatu yang pertama selalu dirawat baik-baik karena kenangan yang tersimpan di dalamnya sulit diukur dengan waktu. Tetapi tidak demikian halnya dengan Gedung Singer. Karena kepentingan ekonomi, karena kepentingan pribadi dan karena hukum yang mandul, pada tahun 1992, gedung ini dirobohkan. Pupus sudah harapan untuk memamerkan milik kita itu pada anak cucu dan banyak orang lain yang berkepentingan untuk mengenang, melihat maupun mempelajarinya.

Kasus Singer dimulai ketika pihak Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera 1912 (AJB Bumi Putera 1912) berniat untuk mendirikan Bandung Business Centre (BBC) di samping gedung Singer. Arsitek mereka, Atelier 6 dari Jakarta merancang bangunan raksasa baru itu dengan gaya yang disesuaikan dengan gaya Singer. Mereka menyadari bahwa Singer merupakan benda cagar budaya yang dilindungi dan dilestarikan. Sayangnya, pihak AJB Bumi Putera 1912 menginginkan agar Singer dibongkar untuk dijadikan areal parkir dan taman.

Dalam surat yang diajukan oleh Direktur Utama AJB Bumi Putera 1912, Drs. H. Sugiarto kepada Kepala Dinas Tata Kota Bandung, mereka menyatakan bahwa dari segi arsitektur, bangunan Singer tepat berada di "mulut" Jalan Asia Afrika dan tidak mempunyai Garis Sempadan Bangunan. Selain itu, Singer hanya memiliki tampak 2 muka, timur dan selatan sehingga "berkesan" kurang menarik, padahal gedung ini telah menjadi satu areal dengan Gedung BBC yang gayanya cukup modern. Dipandang dari aspek tata ruang kota, BBC diharapkan dapat memberikan daya tarik tersendiri bagi wajah kota terutama daerah Simpang Lima namun hal ini terganggu oleh keberadaan bangunan Singer. Bila dipandang dari arah Simpang Lima, bangunan tersebut menjadi penghalang pandangan ke arah BBC. Sedangkan bila dipandang dari jalan Asia Afrika (depan Tamara Bank) ke arah Simpang Lima, daya tarik gedung BBC sedikit terganggu dengan adanya tembok masif bangunan Singer.
“Pada saat mendengar hal ini, saya langsung berfikir, wah, ini pasti bohong. Bagaimana mungkin Singer yang kecil bisa menghalangi bangunan BBC yang demikian tinggi dan besar," tutur Frances B. Affandy, Direktur Eksekutif Bandung Heritage. Meskipun, tambahnya, Singer memang didirikan pada tempat yang tepat sehingga bangunan tersebut tampak menonjol. Sebagai LSM yang salah satu tujuannya adalah melindungi dan melestarikan bangunan kuno beserta lingkungannya, Bandung Heritage menemui pihak AJB Bumi Putera 1912. Mereka menjelaskan nilai penting Singer dan memberikan beberapa saran mengenai desain Singer agar sesuai dengan konsep BBC.

Saran yang disampaikan tersebut merupakan hasil diskusi tim Bandung Heritage yang terdiri dari Dibyo Hartono, Harastoeti Dibyo Hartono dan Ray Panggabean dengan Atelier 6. Mereka mengusulkan agar sebagian lantai dasar Singer difungsikan sebagai taman terbuka sehingga serasi dengan bangunan baru BBC sedangkan lantai atas dapat dimanfaatkan sebagai tempat operasi fungsi-fungsi pendukung BBC misalnya coffee shop, money changer dan souvenir shop. Sebagai suatu landmark sejarah, hal ini akan mendukung kegiatan pariwisata dan dari segi ekonomi sangat menguntungkan. Agar lebih serasi lagi dengan bangunan BBC,tampak bagian barat Singer akan disempurnakan dan secara keseluruhan, penampilan Singer dapat disempurnakan dengan bahan dan warna yang lebih serasi.


Meskipun secara teknis Singer dapat diusahakan agar tampil lebih serasi dengan BBC, pihak AJB Bumi Putera 1912 tetap menginginkan pembongkaran Singer. Alasan mereka diperkuat insiden yang terjadi pada tanggal 21 November 1992 pukul 12.00 WIB. Pada hari itu, atap bangunan Singer roboh, menimpa dua orang yang sedang berteduh sehingga mengalami luka-luka ringan. Agar tidak memakan korban lagi, mengingat Singer sering dilalui banyak orang, maka pihak AJB Bumi Putera 1912 meminta agar pihak Pemda mengeluarkan ijin pembongkaran Singer.

Menyadari bahwa kasus ini tidak akan selesai dengan jalan musyawarah, maka Bandung Heritage membawa kasus ini ke DPRD Tingkat II. Dua kali Bandung Heritage duduk bersama Komisi D dan dalam kedua pertemuan itu, Komisi D yang diketuai Toto Sutahto, BBA., setuju untuk tidak melepaskan Singer. Selain dari Komisi D, dukungan juga datang dari Emil Salim selaku Menteri Negara dan Lingkungan Hidup dalam surat bertanggal 15 September 1992 yang ditujukan kepada Gubernur Daerah Tingkat I Jawa Barat. Dukungan pers yaitu Pikiran Rakyat pada waktu itu sangat besar demikian juga dengan para ilmuwan dan masyarakat. Selama kasus itu berlangsung, Bandung Heritage juga terus mengumpulkan dukungan dari berbagai pihak. Dari segi dukungan, Singer tidak kekurangan.

Sayangnya, bukan itu yang menjadi masalah. Sumber utama masalah sebenarnya terletak pada kekuasaan mutlak yang dimiliki walikota. Pada waktu itu; akibat sistem pemerintahan diktator yang dianut pemerintah masa Orde Baru, kekuasaan walikota sangat besar. Keputusannya, meminjam istilah dalam Bahasa Jawa, bagaikan sabda pandhita ratu yang tidak bisa dibantah siapapun. Itulah yang terjadi pada Singer. Walikotamadya Bandung, yang berkuasa saat itu telah memberikan ijin pembongkaran pada pihak AJB Bumi Putera 1912 dan semua usaha untuk mempertahankan Singer tidak ada artinya lagi. Bandung tetap kehilangan Singer. Tak heran jika pada saat ditanya bagaimana latar belakang pembongkaran Singer, Frances hanya mengangkat bahu.

Ironis. Singer hilang pada saat ada begitu banyak dukungan untuk mempertahankan keberadaannya, pada saat kesadaran masyarakat akan nilai penting pelestarian bangunan bersejarah mulai tumbuh. Dan hukum, yang seharusnya bisa menjadi alat yang ampuh untuk memecahkan masalah, ternyata mandul. Undang-undang no. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya sudah disahkan pada 21 Maret 1992 namun tetap tidak berfungsi.
Hingga saat ini, ternyata kekuasaan walikota masih sangat besar. Menurut Adityawarman dari Dinas Tata Kota Bandung, apapun dapat dilakukan terhadap bangunan kuno bersejarah yang dilindungi jika walikota mengijinkan. Jadi, apakah kasus Babakan Siliwangi, Puncrut, atau bangunan kuno bersejarah lainnya akan berakhir seperti Singer?
Singer adalah satu contoh pengalaman pahit tapi dari situ, kita dapat berkaca kembali. Masih ada kesempatan untuk belajar dari pengalaman yang lalu untuk kemudian bertindak, mempertahankan milik kita yang tersisa. Kalau kita mau.(**)

Tuesday, May 22, 2007

HARGA SUKU CADANG

Seputar Bisnis Reparasi

Bisnis Reparasi Mesin Jahit
Lebih Menjanjikan Daripada Penjualan

Kalau di bengkel Reparasi Mesin Jahit biasanya anda harus datang ke bengkel dan meninggalkannya dua-tiga hari, maka lain lagi pada Pak Sukarman, ia pasang strategi jemput bola dengan mendatangi kliennya. Apalagi dengan pelanggan yang sudah cukup banyak, ia tak perlu lagi repot-repot memasarkan jasanya karena para pelanggannya rata-rata merasa puas sehingga mereka tidak berpindah ke lain tangan untuk soal reparasi, bahkan banyak dari pelanggan yang minta dilayani karena kecewa ditempat lain.

Kepuasan pelanggan di Jakarta ternyata juga terdengar hingga luar daerah sehingga terpaksa ia menolak panggilan service para user di luar Jakarta seperti dari Cirebon, Semarang, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan kota lain seperti di pulau Sumatera.

* * *

Usaha perbaikan mesin jahit lebih menjanjikan datangnya pemasukan ketimbang penjualan mesin jahit bekas yang dipengaruhi banyak faktor. Sebuah kios sederhana berukuran 7x7 meter persegi terlihat di antara sejumlah kios yang berjejer di sepanjang pinggir rel kereta api di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dari tepi Jalan Pasar Minggu Raya terlihat ratusan mesin jahit berbagai merek tertata rapi di beberapa rak etalase.
Meski bekas, mesin-mesin jahit itu masih dalam kondisi layak pakai dan memang banyak dicari orang. ''Biasanya yang mencari mesin-mesin jahit ini tukang jahit. Tapi, mereka mencari yang kualitasnya masih bagus,'' kata Burhan, pemilik toko Lampung Jaya, yang melayani jual-beli dan reparasi mesin jahit tersebut. Ia dibantu oleh dua orang karyawan.
Bisnis reparasi dan jual-beli mesin jahit itu bermula ketika orang tuanya, H Bustami yang memiliki bisnis konfeksi, bangkrut pada 1980-an. Saat itu yang tersisa hanya sekitar 10 unit mesin jahit. Maka, berbekal pengetahuan mereparasi mesin konfeksi Bustami segera 'banting setir' dengan membuka usaha reparasi mesin jahit. ''Kami sudah punya pengalaman tentang mesin jahit sehingga proses perubahannya tidak sulit,'' kata Burhan.
Meski ongkosnya murah, reparasi mesin jahit menjadi pemasukan utama dibanding penjualan mesin jahit second. Setiap hari orang yang memperbaiki mesin jahit masih terus berdatangan. Rata-rata sehari ia melayani lima orang pelanggan. Setiap mesin diperbaiki selama maksimal tiga hari.
Reparasi mesin jahit juga dilakukan Yuniko Suyadi, wirausahawan lainnya. Ia memilih mendatangi pelanggan ketimbang membuka kios. ''Kalau memiliki kios saya harus memikirkan tempat, membayar karyawan. Urusannya banyak. Lebih baik begini saja,'' katanya beralasan.
Yuniko menetapkan tarif bukan berdasarkan jenis kerusakan, namun lokasi yang harus didatanginya dan waktu yang diperlukan. Ia juga sering kali memberikan layanan gratis bagi pelanggan tertentu. Ia pun kerap berperan bagaikan konsultan karena diminta bantuannya mencarikan mesin jahit sesuai kebutuhan pelanggannya. Untuk hal ini ia membebaskan pelanggannya untuk membeli mesin jahit sesuai dengan keinginan mereka.
Setiap kali mereparasi, pelanggan diberitahu jenis kerusakan dan cara memperbaikinya. Sehingga, apabila suatu saat mesin jahit kembali rusak mereka bisa memperbaiki sendiri. Bermodal ketulusan hati itu Yuniko memiliki pelanggan hingga Jayapura walaupun tak memiliki kios. ''Saya hidup untuk melayani, bukan uang semata. Saya senang kalau melihat orang lain bisa maju,'' katanya merendah.
Dunia mesin jahit bukan sesuatu yang baru baginya. Sebelum mandiri ia sempat bekerja di beberapa perusahaan yang menjual mesin jahit. Pria yang belajar mereparasi secara otodidak ini pernah berupaya beralih profesi. Namun, beberapa pelanggannya kerap meminta tolong menangani masalah yang berhubungan dengan mesin jahit sehingga itu membuatnya kembali menekuni bisnis mesin jahit.



Penjualan
Bisnis yang menyertai selain reparasi mesin jahit adalah penjualan mesin jahit bekas. Burhan menjual dengan harga bervariasi tergantung pada merek dan kondisi. Untuk mesin jahit klasik, maksudnya tidak banyak menyediakan fungsi seperti Butterfly atau Singer, dijual dengan harga sekitar Rp 300 ribu. Mesin jahit bekas multifungsi dengan perlengkapan elektrik bisa mencapai Rp 600 ribu hingga jutaan rupiah per unit, seperti merek Janome, Brother, Toyota, Singer, Pegasus, Juki, dan sebagainya. Untuk mesin jahit bekas ia memberi garansi hingga tiga bulan. Sedangkan mesin jahit baru garansi diberikan selama satu tahun. ''Makin bagus, garansinya makin lama,'' tutur Burhan Burhan mengaku bisnis penjualan mesin jahit dalam dua tahun ini relatif sepi. Apabila sebelumnya ia bisa menjual 40 hingga 50 unit mesin jahit per bulan dengan omzet Rp 30 juta kini ia hanya mampu menjual 20 unit per bulan dengan omzet tidak lebih dari Rp 20 juta dengan keuntungan tidak lebih dari 10 persen.
Hal serupa juga diakui Toni, karyawan PD Aneka Mesin Jahit. Dalam dua minggu ini bisnis penjualan mesin jahit agak sepi. Ia menduga hal itu karena menjelang pilpres pada 20 September mendatang. Yang masih bisa diharapkan adalah perbaikan mesin jahit. Harga servis yang dikenakan pada setiap unit mesin jahit sebesar Rp 25 ribu. Itu belum termasuk penggantian suku cadang. ''Yang datang untuk servis beberapa orang, perbaikannya paling hanya satu sampai tiga hari.'


Rajin Dibersihkan dan Diminyaki
Merawat mesin jahit ternyata tidak sulit. Umumnya orang tidak mengetahui bagaimana cara merawatnya sehingga saat terjadi masalah mereka langsung membawa mesin jahit ke tempat servis. Padahal, mesin jahit bisa dirawat sendiri asal tahu caranya. ''Rajin diberi minyak khusus mesin jahit saja,'' saran Burhan, pemilik toko Lampung Jaya, yang melayani jual-beli dan reparasi mesin jahit di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Bagian mesin yang bergerak sering kali aus sehingga perlu pelumasan dalam jangka waktu tertentu. Minyak yang digunakan harus khusus minyak mesin jahit.
Burhan menyarankan, jangan menggunakan sembarang minyak, seperti minyak sayur karena bisa menyebabkan mesin berkarat dan rusak. Bagian lain yang mengalami gangguan adalah as roda yang sering macet atau tempat menyimpan benang yang sering kusut karena harus berganti-ganti benang. Hal serupa juga terjadi pada lampu penerangan mesin yang mati, atau karet dinamo yang kendor. Pemilik harus rajin membersihkannya agar mesin tidak tersendat saat digunakan.
Sedangkan komponen suku cadang relatif jarang mengalami kerusakan. Apalagi bila si pemakai adalah ibu rumah tangga. Umumnya ibu-ibu menjahit dalam jumlah jahitan yang terbatas. Lain halnya dengan bisnis konfeksi yang memerlukan mesin-mesin jahit untuk menghasilkan jahitan dalam jumlah besar. ''Tapi, kalau usaha konfeksi biasanya bisa memperbaiki sendiri mesin-mesinnya karena mereka tahu di mana letak gangguannya.''

Awal penemuan mesin Jahit

Awal penemuan mesin Jahit

Pada tahun 1755, seorang imigran Jerman, Charles Weisenthal, yang tiggal di Inggris, mematenkan penemuan jarumnya yang khusus dirancangnya untuk sebuah mesin. Sayangnya patennya tidak merinci mesin yang menggunakan jarum tersebut.

Berikutnya, seorang pembuat lemari asal Inggris, Thomas Saint yang juga mematenkan mesin jahit di tahun 1790. Tidak diketahui apa Saint benar-benar membuat prototipe mesin yang digunakan pada saat itu, atau hanya sekedar mematenkan agar mendapatkan royalti, kelak jika mesin itu bisa dibuat. Yang pasti, Thomas Saint merinci dalam patennya sebuah benda tajam yang dapat membuat lubang pada kulit dan memasukkan jarum pada lubang yang ada. Selangkah lebih maju dari Weisenthal. Namun reproduksi temuan Saint itu ternyata tidak bisa beroperasi.

Perkara Paten ini juga dilupakan oleh Balthasar Krems. Warga berkebangsaan Jerman ini menemukan mesin otomatis untuk menjahit topi di tahun 1810. Dia tidak mematenkan temuanya dan konon mesinnya tiadak pernah berfungsi dengan baik.

Upaya untuk membuat mesin jahit memang tidak pernah pudar. Banyak pula yang akhirnya menyebabkan perang paten. Namun tidak sedikit pula yang berakhir dengan kegagalan. Contohnya John Adams Doge dan John Knowles dari Amerika. Mereka berdua membuat mesin jahit pada tahun 1818 namun ujung-ujungnya mesin itu gagal saat digunakan untuk menjahit sejumlah kain.

Mesin Jahit yang bisa berfungsi diciptakan oleh Barthelemy Thimonier pada tahun 1830. Mesin ini hanya menggunakan satu benang dan sebuah jarum kait seperti jarum bordir atau sulam. Sayangnya, temeuan ini tidak memperoleh sambutan baik dari masyarakat. Bahkan dirinya hampir terbunuh ketika sejumlah penjahit membakar pabrik garmen miliknya karena takut tersaingi dan menimbulkan pengangguran akibat temuan mesin jahitnya.

Kembali seorang Amerika mencoba membuat mesin jahit dan sukses ditahun 1834, yang bernama Walter Hunt. Namun anehnya, dia tidak merasa bahagia dengan temuannya, karena dia merasa temuannya akan menimbulkan pengangguran.

Mesin Jahit Elias Howe

== Mesin Jahit Elias Howe ==

Puncak penemuan mesin jahit terjadi di [[Amerika Serikat]] yang ditemukan oleh [[Elias Howe]]. Mesin buatannya menggunakan dua benang dari arah berlawanan dan memiliki jarum berlubang untuk benang dibagian ujung. Jarum itu didesak menembus kain dan membuat semacam lengkungan benang disisi bawah kain. Sebuah benang dari arah lain disisipkan kedalam lengkungan tadi. Lalu kedua benang membuat jalinan yang mengunci kain. Kabarnya temuan ini ierinspirasi dari mimpinya. Dalam mimpinya, perut Howe ditusuk oleh seorang kanibal dengan tombak dalam tidurnya. Bentuk ujung tombak inilah yang dijadikan inspirasi buat menciptakan jarum yang sudah lama dicarinya.

Rahasia Negara dan Mesin Jahit

KESEDERHANAAN keluarga Bung Hatta serta sangat kokohnya mantan wakil presiden itu berpegang pada prinsip mungkin dapat disimak dari penuturan Meutia mengenai kisah sebuah mesin jahit.

Sewaktu ayahnya masih menjadi orang nomor dua di republik ini, ternyata untuk membeli sebuah mesin jahit pun tidak bisa dilakukan begitu saja.

Menurut antropolog dari Universitas Indonesia tersebut, ibunya -Rahmi Hatta harus menabung sedikit demi sedikit dengan cara menyisihkan sebagian dari penghasilan yang diberikan Bung Hatta.

Namun rencana membeli terpaksa ditunda, karena tiba-tiba saja pemerintah waktu itu mengeluarkan kebijakan sanering (pemotongan nilai uang) dari Rp100 menjadi Rp 1. Akibatnya, nilai tabungan yang sudah dikumpulkan Rahmi menurun dan makin tidak cukup untuk membeli mesin jahit.

"Karena ikut terkena dampak adanya keputusan sanering tersebut, Ibu kemudian bertanya pada Ayah kok tidak segera memberi tahu akan ada sanering. Dengan kalem Ayah menjawab, itu rahasia negara jadi tidak boleh diberitahukan, sekalipun kepada keluarga sendiri," kata istri ekonom Prof Dr Sri Edi Swasono itu.


Beruntung ibunya akhirnya mampu juga mewujudkan keinginannya membeli mesin jahit. Namun Meutia mengaku lupa kapan ibunya bisa membeli, sehingga tak dapat menggambarkan seberapa lama penantian wanita yang dikasihi itu untuk membeli barang yang diidam-idamkannya akibat sanering tersebut.

Terbebani Nama


Sebagai putri Bung Hatta, wajar bila Meutia merasa terbebani nama besar ayahnya. Namun yang paling menjadi bebannya adalah perasaan belum berhasilnya ia menjalankan profesi sebagai pendidik dan antropolog untuk mencerdaskan bangsa Indonesia sesuai cita-cita ayahnya.

"Masih banyak masyarakat kita, baik yang kaya maupun miskin, yang belum cerdas," kata kolektor perangko tersebut. Masyarakat cerdas yang dimaksud adalah masyarakat yang tahu harkat dan martabatnya, tidak rendah diri, dan berkarakter tangguh.
Wanita kelahiran Yogyakarta 21 Maret 1947 itu mencontohkan masih saja ada orang yang naik sedan mewah tetapi dengan seenaknya melanggar peraturan lalu lintas. Ia juga prihatin pada pada banyaknya orang pandai tapi karakternya lemah, sehingga tidak bisa pede membawa harga diri bangsa. Akibatnya, masih bisa didekte orang asing.


Dia pun menaruh keprihatinan mendalam pada banyaknya orang miskin yang hanya karena urusan sepele sampai lupa harkat dan martabat manusia dan berakibat tega membunuh. Ibu dari Tansri Zulfikar Yusuf tersebut mengaku sangat ingin orang menyukai dirinya karena dirinya sendiri, bukan karena ia putri Bung Hatta. Begitu juga kalau dalam hal dibenci, wanita yang punya hobi membaca buku tersebut sangat tidak ingin bila orang-orang membenci dia karena mereka benci pada ayahnya.

Gampang Terharu

Meutia, yang tinggal di Jl Daksinapati Timur No 9 Rawamangun, Jakarta Timur, mengaku gampang terharu bila ada teman-teman ayah atau ibunya yang menceritakan tentang sikap hidup kedua orang tuanya yang sederhana dan bersahaja.

Banyak juga, katanya, handai taulannya yang "kaget" ketika melihat sendiri bahwa sebagai mantan wapres -tetapi karena memilih hidup yang jujur dan bersahaja- tak ada barang mewah yang dimiliki ayahnya.

Ia mengaku banyak orang mempertanyakan mengapa ayahnya memilih mundur dari dunia politik. Mereka pun menebak-nebak ada apa di balik langkah yang mengejutkan tersebut. Dia menambahkan, banyak pula orang yang menilai bahwa perbedaan dalam cara berpikir dan langkah yang diambil dalam dunia politik baik oleh Bung Karno dan Bung Hatta merupakan suatu konflik berkelanjutan.

Sebagai putri sulung, ia mengaku pernah dinasihati secara khusus oleh ibunya berkaitan dengan hal tersebut. Menurut ibunya, ada waktunya kedua proklamator itu (Bung Karno dan Bung Hatta) saling jengkel satu sama lain.

Namun hanya mereka berdualah yang bisa memahami dan merasakan kemarahan atau perasaan saling jengkel itu. Akan tetapi bila tiba saatnya, mereka saling memaafkan dan tak mau membesar-besarkan konflik pribadi tersebut terus berlanjut. Keduanya khawatir konflik yang dibesar-besarkan hanya akan berdampak tidak baik terhadap masyarakat dan rakyat Indonesia.